skip to main | skip to sidebar

All About Asia

This blog is merely information about the development of Korean dramas, Japanese manga, Japanese anime and all that about in ASIA

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About me
  • Archives
  • Contact Us

Kamis, 25 Juli 2013

IZINKAN AKU BAHAGIA




Penulis
R A G I L  S U C I P T O
Ide Cerita
R A G I L  S U C I P T O




  
Lelah kaki ini untuk berjalan, entah sudah berapa kilometer jarak yang kutempuh hanya untuk menyambung hidup keluargaku. Setidaknya aku bersyukur hari ini, kue-kue buatan ibuku sudah habis terjual. Ibu pasti senang jika melihat aku membawa baskom yang sudah kosong. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah.

Aku hampir sampai di rumahku yang mungkin lebih layak disebut gubuk dan aku melihat sebuah mobil sedan berwarna merah terparkir di depan rumahku. Aku tahu harganya pasti hampir atau bahkan mencapai milyaran. Aku tidak mengerti mengapa mobil semewah itu direlakan untuk parkir di sebuah gang sempit, becek, dan kumuh ini.

Aku tidak begitu peduli dengan mobil itu. Perlahan aku mendekati rumahku, tiba-tiba pintu belakang mobil itu terbuka dan menghadangku. Seorang wanita turun dari mobil, usianya sudah tidak muda lagi tetapi begitu anggun dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia adalah seseorang yang aku kenal. Dia menghampiriku lalu menggenggam tanganku dengan kasar.

“Ikut saya!!!”, perintah wanita tersebut.

Aku sangat takut melihat wajahnya yang tampak begitu murka. Dia menarik tanganku dengan paksa, membawaku naik ke atas mobilnya. Hingga baskom yang aku bawa terjatuh dari peganganku, tetapi ia tak peduli.

Aku duduk di jok belakang, tepat di samping wanita itu. Aku benar-benar tidak mengerti maksud dan tujuannya menemuiku.

“Pak, jalan!!”, perintahnya kepada seorang supir.

“Baik, Nyonya”, jawab supir tersebut.

Mobil tersebut mulai berjalan, entah aku akan dibawa ke mana. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil begitu sepi. Aku menghabiskan waktuku dengan melihat pemandangan keluar jendela mobil. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Akhirnya, kami berhenti di sebuah taman yang indah. Wanita tersebut menyuruhku untuk turun dari mobil. Ia kembali menggenggam erat tanganku, begitu kasar. Aku sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Ku lihat kondisi taman begitu sepi. Tak ada orang lagi selain aku dan wanita itu. Ia duduk di sebuah bangku panjang berbahan kayu, ia menyuruhku duduk. Aku mengikuti saja perintahnya.

“Bertahun-tahun saya merawat David seorang diri. Dulu David sangat suka bermain di sini, begitu riangnya dia bermain. Tanpa terasa ia sudah dewasa sekarang”, kata wanita tersebut memulai pembicaraan.

Aku terdiam, aku masih belum mengerti maksud dan arah pembicaraannya.

“Saya tidak habis pikir, mengapa seseorang seperti kamu bisa hadir dalam hidup anak saya yang sedang tumbuh dewasa. Kamu hanya akan menghancurkan anak saya!”, lanjutnya.

“Tante, berapa kali saya harus bilang? Saya tidak pernah mengemis kepada David untuk memberikan ini-itu kepada saya. Saya berteman dengan anak Tante bukan karena harta anak Tante, tetapi saya tulus berteman dengan David. Tak masalah jika David tidak memberikan apa-apa untuk saya”, jelasku panjang lebar.

“Teman katamu? Bukan pacar?”, selidik wanita itu. Tatapan matanya begitu tajam melihatku. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisku. Aku tidak tahu darimana ia tahu tentang hubunganku dengan anaknya.

“Maksud Tante apa?”, tanyaku berpura-pura tidak tahu apa yang wanita itu bicarakan.

“Jangan pura-pura tidak tahu kamu! Jangan mengelak lagi, saya sudah tahu semua. Pantas saja David begitu royal kepadamu. Enak sekali hidupmu! Sekolah dibiayai David, obat-obatan untuk ibumu yang sakit-sakitan juga David yang  membelikan, belum lagi barang-barang yang David berikan untukmu. Sungguh keterlaluan kau ini. Tak tahu malu! Berapa harga diri kamu? Menggoda anak saya ke jalan yang salah hanya untuk menguras harta anak saya hah? Ayo jawab!”

Emosiku naik saat ia menginjak-injak harga diriku, tetapi sekuat tenaga aku coba untuk meredamnya. Bagaimanapun dia adalah seorang yang lebih tua dariku, aku harus menghormatinya.

“Tante tahu darimana?”

“Kau tak perlu tahu.”

“Tapi ini tidak seburuk yang Tante pikir! Tolong dengarkan dulu penjelasanku ini.”

“Sudah! Saya tak ingin mendengar lagi bualanmu! Saya minta kamu putuskan hubunganmu dengan David. Mengerti? Saya telah susah payah membesarkan anak saya seorang diri. Saya tidak akan tinggal diam kepada siapapun yang ingin menghancurkan masa depan anak saya. Mengerti kamu!”

Wanita tersebut beranjak dari kursi. Dia berdiri dengan mantap membelakangiku yang masih duduk terpaku.

“Kalau kau memang tulus kepada David, buktikan! Tinggalkan David dan biarkanlah dia bahagia dengan masa depannya. Hidup sukses dan memiliki anak-anak dari istrinya yang sesuai dengan dirinya kelak. Kau ingin David bahagia bukan? Atau memang benar kalau kau hanya ingin menggerogoti harta anak saya?”

Pita suaraku terkunci, tak bisa berkata-kata lagi. Hati ini semakin memanas mendengar semua perkataan yang sangatlah pedas itu kepadaku. Wanita tersebut pergi meninggalkanku dengan mobilnya. Tak terasa air mataku menetes. Segera ku seka air mataku, lalu berjalan meninggalkan taman itu. Hari sudah petang dan aku harus segera sampai di rumah, ibu pasti mengkhawatirkanku.

_ _ _ _ _

“Ya Allah, berikanlah hamba kekuatan untuk menjalani semua ini! Yakinkanlah aku untuk melepaskan kebahagiaanku. Hanya Engkau yang mampu membuatku bertahan.”

Begitulah doa yang aku panjatkan pada-Nya sambil tak hentinya aku menangis. Aku sudah bulat untuk memutuskan hubunganku dengan David. Hanya kekuatanlah yang aku butuhkan saat ini.

Selesai berdoa, aku merebahkan tubuhku yang begitu lemah di atas kasurku. Aku begitu rapuh saat ini. Aku harus segera melepaskan David, seseorang yang begitu aku cintai.

Aku memeluk erat sebuah foto. Foto antara aku dan David di sebuah photo box. Di dalam foto itu, aku dan David sedang berciuman. Wajah kami begitu cerah, benar-benar sepasang kekasih yang berbahagia. Air mataku mengalir deras.

David Ricco Satria, aku biasa memanggilnya Kavid, singkatan dari “Kekasihku David”. Mulai besok aku takkan bisa lagi memanggilnya Kavid. Dan aku juga mungkin tidak bisa lagi mendengar ia memanggilku , Lianiz “Pricillia Manis”, panggilan sayangnya untukku.

David adalah seorang laki-laki yang paling tulus yang pernah aku kenal di dunia ini, mungkin ia mewarisi sifat ayahnya yang dermawan. Sayang, ayah David sudah meninggal akibat kecelakaan di saat David masih berusia enam tahun. Dan kini David hanya tinggal berdua dengan ibu kandungnya yang sangat berbeda dengan ayahnya, ibu David memandang semua hal hanya dari segi harta dan tahta. Jadi tidak heran, beliau memandangku rendah seperti sore tadi.

Aku bertemu ibu David untuk pertama kali saat ibuku terlilit hutang kepada seorang rentenir. Awalnya aku menceritakan masalah itu kepada David tanpa ada maksud untuk mengemis. Namun, David menawarkanku sebuah bantuan.

“Ayo, masuk, Lianiz! Mudah-mudahan mamaku gak lagi pergi. Tadi pagi sih, mama bilang mau istirahat di rumah hari ini”, kata David padaku.

Aku menapaki sebuah rumah yang begitu mewah, seperti yang aku lihat di dalam sinetron. Aku tak habis pikir, rumah sebesar ini hanya ditempati oleh David, mamanya, dan beberapa orang pembantunya.

David membawaku ke sebuah ruang keluarga. Terlihat seorang wanita yang aku tebak adalah mama David. Dia sedang sibuk membaca majalah fashion, televisi ia biarkan menyala meski tidak ia tonton.

“Mah, ada temanku nih”, kata David mengagetkan ibunya.

Wanita tersebut menurunkan majalah, memperlihatkan wajah cantiknya meski di usianya yang sudah tua. Dia memandangi tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki dan itu berhasil membuat jantungku berdebar-debar. Aku segera menyalami mama David, ia mempersilakanku duduk di sofa. David juga ikut duduk di samping mamanya.

“Siapa namamu?”, kata wanita itu kepadaku dengan nada yang datar.

“Pricillia tante.”

“Orangtua-mu pemimpin di perusahaan apa?”, tanya ibu itu sambil menaikkan alisnya. Mendengar pertanyaannya, aku semakin tegang dan membuatku tidak nyaman berada di sana.

“Emmm, Mah. Pricillia ini hidupnya sederhana. Dia hebat loh, mah! Dia rajin membantu ibunya berjualan kue setiap pulang sekolah. Tapi, nilai-nilai di sekolahnya bagus mah. Dia bahkan juara kelas loh, Mah!”, terang David yang memahami situasi yang kurang mengenakkan ini.

“Kenapa bisa kamu berteman sama orang miskin sih, David?!”

“Mama! Jangan bilang seperti itu, donk! Gak enak didenger sama Pricillia!!.”

Aku hanya bisa menelan ludah dan menahan rasa sakit hati ini melihat sambutan mama david yang kurang baik. Aku ragu apakah orang seperti ini bisa kumintai tolong. “Ya Tuhan bantulah aku.” Tutur kata dalam hatiku.

“Lalu mau apa dia kemari?”

“Begini loh, mah! Dia mau meminjam uang. Keluarganya sedang mengalami kesulitan gara-gara terbelit hutang sama rentenir, mah! Pinjamkan Pricillia uang donk mah, kasihan.”

“Berapa yang kamu minta, Pricillia?”, tanya mama David.

“Dua setengah juta, Tante”, jawabku.

“Apa?! Sebanyak itu? Itu bukan angka yang kecil untukmu. Kamu yakin bisa membayar hutangmu kepada saya? Kamu hanyalah penjual kue dengan baskom yang menjijikan itu!”

“Saya tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa, Tante.” “Aku menahan emosiku di saat mamanya David memaki-makiku.

“Mah, David mohon, Mah! Pinjami Pricillia uang. Kalau dia tidak bisa membayarnya, biar David yang ganti. Mama bisa potong dari uang jajanku.”

“Mana bisa begitu, David? Siapa yang berhutang, dia yang harus membayar! Sifatmu itu! Sama persis dengan ayahmu! Memberikan uang cuma-cuma pada orang yang tidak jelas.”

“Mah, please! David mohon, Mah! Mama kan baik”, kata David sambil memeluk tangan mamanya dengan manja.

“Ah, kamu ini, Vid! Kamu memang selalu begitu! Tahu saja kalau mama memang tidak pernah bisa menolak permintaan kamu”, mama David bangkit dari sofa dan melepaskan diri dari pelukan anaknya.

“Kali ini kamu beruntung, nak! Tunggu sebentar, saya akan mengambilkan uangnya”, kata mama David sambil menatapku dengan sinis.

“Yes!”, Teriak David dengan girang, sementara aku masih datar saja. Aku tak tahu apakah aku harus senang atau tidak.

Beberapa menit kemudian, mama David kembali ke ruang keluarga dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat.

“Ini isinya tepat dua setengah juta. Tak perlu kau hitung lagi!”, katanya sambil menyerahkan amplop tersebut dengan alis dinaikkan kepadaku.

“Saya sedang baik hati! Kamu bayar seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan tanpa bunga. Dan Farel, kamu hanya boleh membantu paling banyak lima puluh persennya saja.”

“Baik Tante! Akan saya usahakan! Terima kasih banyak, Tante”, kataku dengan mantap.

Aku telah bersusah payah mengumpulkan uang dari uang jajanku untuk membayar hutangku kepada mama David, tetapi ujung-ujungnya David yang membayar sebagian besar hutangku. Dan ini telah melanggar ketentuan dari mama David. Untung saja mama David tidak tahu mengenai hal ini.

_ _ _ _ _

Pagi pun tiba, entah jam berapa aku tertidur semalam. Aku memang terlalu lelah untuk memikirkan masalah ini. Aku segera mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, aku langsung disambut oleh David. Itu memang kebiasaan kami, kami harus saling menunggu sebelum masuk ke dalam lingkungan sekolah. Kalau aku tidak melihat David di gerbang sekolah, maka aku yang harus berdiri di dekat pos satpam untuk menunggu David. Begitu pula sebaliknya.

“Pagi, Lianiz!”, kata David dengan senyum lebarnya yang ia persembahkan untukku pagi ini.

“Pagi”, kataku dengan nada datar.

Mau tak mau, aku harus memulai drama ini sekarang juga. Aku tetap berjalan melewati David tanpa menghiraukannya. David seperti terpaku sejenak, tetapi ia segera berlari menyusulku. Kini dia telah berjalan di sampingku. Aku berjalan lebih cepat, ia berusaha menyeimbangiku.

“Lianiz, semangat dalam menjalani hari ini ya?”, katanya.

“Iya iya!”, rasanya aku tak sanggup menjalani ini semua. Tapi ini demi kebaikannya, jadi aku harus melakukannya.

“Ada apa sih kok kamu tiba-tiba berubah?”

“Gak ada apa-apa.”

“Kok kamu gak panggil aku Kavid?”

Aku sudah sampai di depan kelas, aku ingin segera masuk ke dalam kelas dan berlari dari hadapan David. Namun, David justru menarik tanganku untuk mencegahku masuk ke dalam kelas.

“Kita selesaikan masalah ini sebentar!”

Ia menarik tanganku, ternyata ia membawaku ke kebun di belakang sekolah.

“Ada apa? Katakan padaku, Lianiz!”, desak David kepadaku.

“Aku mau putus.”

“Kenapa?”

David mulai menunjukkan wajah lesunya, aku jadi tidak tega. Sementara itu, aku belum sempat memikirkan alasan yang tepat. Aku hanya bisa terdiam, tidak menjawab pertanyaan David.

“Ada apa?? Kenapa kamu mau putus?? Apa alasannya?? Ayo, coba jelaskan?? Apa kita sebelumnya mempunya masalah?? Aku rasa tidak Lianiz!”, suaranya mulai serak mengulang lagi pertanyaannya sambil menatap mataku dalam-dalam. Aku menangkap sinar matanya, membuatku tak berdaya.

“Kita udah gak cocok!”, jawabku sekenanya.

“Gak cocok gimana? Kita berantem aja gak pernah!”

Aku terdiam lagi beberapa saat, aku benar-benar bingung memikirkan alasan yang tepat untuk memutuskan hubunganku dengan David.

“Coba kamu pikirkan lagi!”

David melangkah menuju ruang kelasnya dengan langkah yang lesu. Sementara aku masih terdiam, melihat semua sudut di kebun ini. Di sini sangat banyak kenanganku bersama David. Di sinilah tempat aku dan David pertama kali mengakrabkan diri. Di sini juga David menyatakan cintanya kepadaku. Jika kami sedang sedih, tempat inilah yang jadi tempat tujuan kami berdua. Kenangan itu sungguh membuatku sakit bila aku teringat bahwa ini adalah saat-saat aku harus kehilangan David.

Aku merenungi lagi sejenak karena aku menjadi ragu untuk memutuskan hubunganku dengan David. David begitu indah untuk aku relakan begitu saja. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku bahagia sebelum bertemu dengan David.

Di usiaku yang ke-6, ayahku pergi melepaskan tanggung jawabnya menafkahi keluarga kami demi menikahi wanita lain. Kini entah ia berada di mana, yang jelas ia meninggalkan kami dalam kesulitan ekonomi. Sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, akulah yang berkewajiban untuk membantu ibu membanting tulang menghidupi keluarga kami. Dua kakakku sudah tidak tahu lagi pergi kemana. Mereka berkata “Kami tidak ingin lagi hidup Miskin dan Sengsara seperti ini bersama Ibu dan kamu Pricillia!!” Teriknya kepadaku dan Ibu sebelum mereka meninggalkan rumah ini. Aku berkeliling kota menjual kue tradisional buatan ibu. Lelah, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan hidupku. Di saat teman-teman sebayaku asyik bermain dengan lepas tanpa masalah, aku harus melawan panasnya sengatan matahari demi mendapatkan uang yang tak seberapa. Ibuku tidak bisa bekerja terlalu keras. Sejak ayah meninggalkanku, ibu mudah sakit. Fisiknya begitu lemah sampai-sampai hidupnya tergantung pada obat-obatan. Aku seperti tidak pernah bahagia sampai aku menemukan David di dalam hidupku. Aku sangat mencintainya dan aku mendapatkan kasih sayang yang luar biasa darinya.

Seperti yang aku bilang, David adalah orang paling tulus yang pernah aku kenal. Dia membiayai iuran sekolahku, dia membayar obat-obatan yang harus dikonsumsi ibuku, dan masih banyak lagi. Dia tidak mengharapkan imbalan apapun dariku. Ia selalu ada di saat aku sulit, memberikanku bantuan secara fisik dan moril. Entah berapa jumlah material yang sudah ia keluarkan untukku. Walaupun David tidak memberikan apapun untukku, aku akan tetap bahagia. Semua itu karena aku mencintai David.

“Kalau kau memang tulus kepada David buktikan! Tinggalkan David dan biarkanlah dia bahagia dengan masa depannya. Hidup sukses dan memiliki anak-anak dari istrinya kelak yang pantas bukannya kamu wanita yang tidak jelas asal usulnya. Kau ingin David bahagia bukan?!! Atau memang benar kalau kau hanya menginginkan harta anakku?!”, tiba-tiba kata-kata mamanya David sore kemarin kembali terngiang di dalam pikiranku.

“Benar juga, selama aku masih menjadi kekasih David, ia tidak akan berhenti memberikanku segalanya. Mungkin aku tidak mempunyai niat untuk meminta-minta, tetapi bagaimana pandangan Mama david? Aku tidak boleh egois, jangan sampai martabat keluargaku diinjak-injak oleh ibu David hanya karena aku memacari anaknya”, pikirku.

Lonceng sekolah berbunyi membuyarkan lamunanku, itu pertanda bahwa jam pertama sudah dimulai. Aku setengah berlari menuju ruang kelasku menyusuri koridor kelas.

Aku melewati ruang kelas David dan sempat melihat ke dalam ruang kelasnya melalui jendela. David tampak sangat lesu, aku tak pernah melihat ia seperti ini sebelumnya.

“Ini demi kebaikanmu, David!”, kataku dalam hati.

_ _ _ _ _

Jam istirahat pun tiba, biasanya aku dan David pergi ke kantin sekolah berdua. Sekarang aku tidak bisa mengharapkannya lagi. Aku tetap pergi ke kantin sekolah tanpa ada niat untuk membeli makanan. Sebab, untuk berada di kelas itu sangat menjenukan.

Aku menjatuhkan tubuhku pada sebuah bangku di kantin sekolah. Aku melihat sekelilingku dan aku tidak mendapati raga David di sana. Beberapa waktu silam aku pernah dimarahi oleh David di bangku ini. Saat itu kami memesan bakso dan penjual bakso itu menumpahkannya di atas meja yang kami tempati. Aku memarahi penjual bakso tersebut, tetapi David justru balik memarahiku.

“Kalau tumpah ya beli aja lagi! Jangan marahin Mang Tarjo donk! Kasihan Mang Tarjo!”, begitulah amarah David terhadapku. Kata-kata David yang akan selalu aku ingat di dalam hatiku.

Aku tak sedikitpun kesal karena David memarahiku, justru aku sangat terpukau. Aku memang kekasihnya, tetapi itu tidak membuat David menutup mata hatinya. Ia tetap obyektif dalam memandang masalah yang ada di hadapannya.

“Dorrr!!!”, teriak seseorang tepat di telingaku sambil menepuk bahuku dengan kencang saat aku sedang termenung, membuat jantungku terasa berhenti berdetak sesaat.

“Vicco!!! Apa-apaan sih lo!!! Hampir melayang nyawa gua!!!”, bentakku pada Vicco, dia adalah sahabatku.

“Lagian melamun mulu! Ntar kalo kesambet setan gimana?”

“Jayus!!!”, kataku sambil menjulurkan lidahku.

“Ada apa sih kok ngelamun? Pake nangis lagi?”, tanyanya dengan serius.

Aku menatap wajah Vicco agak lama. Vicco mengibaskan tangannya, mencoba menyadarkanku dari lamunan saat melihat wajahnya. Tiba-tiba terlintas sebuah ide di dalam otakku untuk memutuskan hubunganku dengan Vicco. Kebetulan sekali Vicco sudah tahu mengenai hubunganku dengan Vicco. Aku membisikkan ideku ke telinga Vicco, ia memperhatikan dengan seksama.

“Gila lo!!!”, teriak Vicco secara tiba-tiba membuat siswa-siswi di kantin itu memperhatikan kami.

“Ssssstttt!!! Mau ya??? Please gua mohon!!!”

“Tapi kenapa bisa?”

“Soal kenapa, nanti aja ya gua jelasin. Tapi mau kan?”

“Ya udah deh, berhubung gua sahabat lo! Tapi gua gak bisa bayangin reaksi David nanti dah!”

_ _ _ _ _

Lonceng sekolah berbunyi sebanyak empat kali. Jam pelajaran terakhir sudah habis waktunya, siswa-siswi berlarian keluar dari sekolah. Aku bersiap-siap menghadang David di depan kelasku.

Tak lama batang hidungnya sudah terlihat, mendekat ke arahku masih dengan langkah yang lemah. Ketika ia sudah sampai di dekatku, aku langsung menarik tangan David dan membawanya ke dalam kelasku yang sudah kosong. Aku menutup pintu kelasku rapat-rapat kemudian mengajak David duduk di bangku kelasku.

“Ada apa, Lianiz? Apa sudah kau pikirkan lagi keputusanmu?”, tanya David begitu lemah. Aku tertunduk, aku tidak mau lagi menatap wajahnya karena itu akan membuatku luluh. Aku merasa ini pasti membuatnya sedih.

“Iya, aku sudah memikirkannya.”

“Jadi keputusanmu?”

“Sekarang aku mau jujur menceritakan yang sebenarnya terjadi. Aku.....”

Ucapanku terputus mendengar suara pintu kelas yang terbuka, ternyata dia adalah Vicco. Aku benar-benar sangat berdebar untuk memulai klimaks dari sandiwara ini.

“Beb! Ayo pulang!”, kata Vicco.

“Beb???”, David mengerutkan dahinya.

“Iya! Dia … Vicco adalah … pacarku sekarang!”, kataku pada David

Aku rasanya ingin menangis saat mengucapkan kalimat tersebut, tetapi aku tahan sebisa mungkin demi keberhasilan sandiwara Konyol ini. “Maafkan aku David.”

“Kamu bercanda kan, Lianiz?”, tanya David mencari kepastian dariku.

David mendekati kami berdua dan aku terkejut saat ia mencium bibirku dengan lembut. Ini tidak ada di dalam skenario, tetapi kupikir ini adalah sebuah improvisasi yang bagus yang akan menyakinkan David bahwa Vicco adalah pacarku sekarang. Mungkin ini jalan yang terbaik meskipun caranya menyakitkan. Aku semakin mendekatkan tubuhku pada Vicco. Dia memelukku dengan erat sambil menciumi bibirku dengan lahap, aku membalas ciumannya dengan penuh gairah, gairah yang dipaksakan. Sementara David hanya terpaku melihat adegan panas antara aku dan Vicco.

“Kamu kok tega, Lianiz? Kamu tega sama aku??” Dimana janji setia yang kita buat hah? Jawab?!!, kata David dengan suara yang begitu serak. Air matanya tak dapat terbendung lagi.

“Maafkan aku, David. Selamat tinggal! Semoga kamu bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada aku. Aku tidak pantas untukku”.

Vicco menggandeng erat tanganku, membawaku menuju keluar kelas. Aku tidak berani melihat wajah David. Aku tak mau David melihatku menangis sekarang. Tubuhku begitu lemah, Vicco berusaha menopang tubuhku untuk berpijak kuat di permukaan bumi ini.

_ _ _ _ _

Aku tidak melihat sosok David menungguku di gerbang sekolah. Aku langsung berdiri di dekat pos satpam, menunggu kedatangan David di sekolah pagi ini.

Beberapa menit kemudian, aku baru sadar bahwa aku bukan milik David lagi. Sungguh aku belum terbiasa dengan keadaan ini. Aku seperti orang bodoh atau bahkan mungkin seperti orang gila. Aku sangat menyesal telah melakukan sandiwara yang konyol ini, tapi mau bagaimana lagi. Ini adalah cara supaya David membenciku. Aku segera menjauhi gerbang sekolah dan berlari menuju kelasku. Aku merasa orang-orang di sekelilingku seperti sedang menertawaiku.

Sampai di dalam kelas, aku langsung duduk di bangkuku yang terdapat pada barisan terdepan. Vicco sudah berada di sampingku, aku memang datang agak siang dari biasanya pagi ini. Semua teman sekelasku begitu sibuk bahu-membahu saling menyalin pekerjaan rumah mereka.

“Udah kerjain PR belum?”, tanya Vicco kepadaku sambil tersenyum padaku.

“Udah donk”, kataku dengan kurang semangat.

“Gua ada yang belom ngerti nih nomor tujuh.”

“Yang ini pembilangnya dibagi dulu terus di jadiin bilangan yang sama-sama dibagi dua sama satu per x, penyebutnya juga dikali satu per x. Selanjutnya bisa kan?”, terangku pada Vicco.

“Oh gitu! Ngerti ngerti. Dicoba dulu ah.”

Tidak sengaja aku melihat David berdiri di dekat pintu masuk kelasku. Entah sejak kapan ia berada di sana, yang jelas pasti David melihat tubuhku begitu berdekatan dengan Vicco saat aku menjelaskan PR tadi. Ia tersenyum saat melihatku melihatnya, senyuman yang begitu menyakitkan hatiku. Namun aku bisa melihat jelas aura kesedihan terpancar begitu kuat dari dirinya.

David, mengapa engkau tersenyum padaku? Bencilah aku! Maka itu akan membuatku lebih baik. Sebab itu lebih pantas aku dapatkan darimu sekarang. Tolong bencilah aku. Hapuslah kenangan yang sudah kita buat bersama. “pikir dalam hatiku.”

Ya Tuhan, apakah aku memang tidak pantas untuk bahagia? Izinkanlah aku untuk merasakan kebahagiaan lagi.

Bahagia, apakah itu sebuah kata yang terlalu muluk untukku?




To Be Continued. . . . .
Diposting oleh Ragil Sucipto di 09.33
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Blog Archive

  • ▼  2013 (2)
    • ▼  Juli (2)
      • IZINKAN AKU BAHAGIA
      • KETIKA ERISKA PERGI
  • ►  2012 (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Februari (6)

Followers

Mengenai Saya

Ragil Sucipto
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

  • ▼  2013 (2)
    • ▼  Juli (2)
      • IZINKAN AKU BAHAGIA
      • KETIKA ERISKA PERGI
  • ►  2012 (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Februari (6)
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Ragil sucipto | Zoomtemplate.com