Penulis
R A G I L S U C I P T O
Ide Cerita
R A G I L S U C I P T O
Lelah kaki ini untuk berjalan, entah sudah berapa
kilometer jarak yang kutempuh hanya untuk menyambung hidup keluargaku. Setidaknya
aku bersyukur hari ini, kue-kue buatan ibuku sudah habis terjual. Ibu pasti
senang jika melihat aku membawa baskom yang sudah kosong. Aku sudah tidak sabar
ingin segera sampai di rumah.
Aku hampir sampai di rumahku yang mungkin lebih layak
disebut gubuk dan aku melihat sebuah mobil sedan berwarna merah terparkir di
depan rumahku. Aku tahu harganya pasti hampir atau bahkan mencapai milyaran.
Aku tidak mengerti mengapa mobil semewah itu direlakan untuk parkir di sebuah
gang sempit, becek, dan kumuh ini.
Aku tidak begitu peduli dengan mobil itu. Perlahan aku
mendekati rumahku, tiba-tiba pintu belakang mobil itu terbuka dan menghadangku.
Seorang wanita turun dari mobil, usianya sudah tidak muda lagi tetapi begitu
anggun dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia adalah seseorang yang aku
kenal. Dia menghampiriku lalu menggenggam tanganku dengan kasar.
“Ikut
saya!!!”, perintah wanita tersebut.
Aku
sangat takut melihat wajahnya yang tampak begitu murka. Dia menarik tanganku
dengan paksa, membawaku naik ke atas mobilnya. Hingga baskom yang aku bawa
terjatuh dari peganganku, tetapi ia tak peduli.
Aku
duduk di jok belakang, tepat di samping wanita itu. Aku benar-benar tidak
mengerti maksud dan tujuannya menemuiku.
“Pak,
jalan!!”, perintahnya kepada seorang supir.
“Baik,
Nyonya”, jawab supir tersebut.
Mobil
tersebut mulai berjalan, entah aku akan dibawa ke mana. Sepanjang perjalanan,
suasana di dalam mobil begitu sepi. Aku menghabiskan waktuku dengan melihat
pemandangan keluar jendela mobil. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Akhirnya,
kami berhenti di sebuah taman yang indah. Wanita tersebut menyuruhku untuk
turun dari mobil. Ia kembali menggenggam erat tanganku, begitu kasar. Aku
sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Ku lihat kondisi taman begitu sepi. Tak
ada orang lagi selain aku dan wanita itu. Ia duduk di sebuah bangku panjang
berbahan kayu, ia menyuruhku duduk. Aku mengikuti saja perintahnya.
“Bertahun-tahun
saya merawat David seorang diri. Dulu David sangat suka bermain di sini, begitu
riangnya dia bermain. Tanpa terasa ia sudah dewasa sekarang”, kata wanita
tersebut memulai pembicaraan.
Aku
terdiam, aku masih belum mengerti maksud dan arah pembicaraannya.
“Saya
tidak habis pikir, mengapa seseorang seperti kamu bisa hadir dalam hidup anak
saya yang sedang tumbuh dewasa. Kamu hanya akan menghancurkan anak saya!”,
lanjutnya.
“Tante,
berapa kali saya harus bilang? Saya tidak pernah mengemis kepada David untuk
memberikan ini-itu kepada saya. Saya berteman dengan anak Tante bukan karena
harta anak Tante, tetapi saya tulus berteman dengan David. Tak masalah jika
David tidak memberikan apa-apa untuk saya”, jelasku panjang lebar.
“Teman
katamu? Bukan pacar?”, selidik wanita itu. Tatapan matanya begitu tajam
melihatku. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisku. Aku tidak tahu
darimana ia tahu tentang hubunganku dengan anaknya.
“Maksud
Tante apa?”, tanyaku berpura-pura tidak tahu apa yang wanita itu bicarakan.
“Jangan
pura-pura tidak tahu kamu! Jangan mengelak lagi, saya sudah tahu semua. Pantas
saja David begitu royal kepadamu. Enak sekali hidupmu! Sekolah dibiayai David,
obat-obatan untuk ibumu yang sakit-sakitan juga David yang membelikan, belum lagi barang-barang yang
David berikan untukmu. Sungguh keterlaluan kau ini. Tak tahu malu! Berapa harga
diri kamu? Menggoda anak saya ke jalan yang salah hanya untuk menguras harta
anak saya hah? Ayo jawab!”
Emosiku
naik saat ia menginjak-injak harga diriku, tetapi sekuat tenaga aku coba untuk
meredamnya. Bagaimanapun dia adalah seorang yang lebih tua dariku, aku harus
menghormatinya.
“Tante
tahu darimana?”
“Kau
tak perlu tahu.”
“Tapi
ini tidak seburuk yang Tante pikir! Tolong dengarkan dulu penjelasanku ini.”
“Sudah!
Saya tak ingin mendengar lagi bualanmu! Saya minta kamu putuskan hubunganmu
dengan David. Mengerti? Saya telah susah payah membesarkan anak saya seorang
diri. Saya tidak akan tinggal diam kepada siapapun yang ingin menghancurkan
masa depan anak saya. Mengerti kamu!”
Wanita
tersebut beranjak dari kursi. Dia berdiri dengan mantap membelakangiku yang
masih duduk terpaku.
“Kalau
kau memang tulus kepada David, buktikan! Tinggalkan David dan biarkanlah dia
bahagia dengan masa depannya. Hidup sukses dan memiliki anak-anak dari istrinya
yang sesuai dengan dirinya kelak. Kau ingin David bahagia bukan? Atau memang
benar kalau kau hanya ingin menggerogoti harta anak saya?”
Pita
suaraku terkunci, tak bisa berkata-kata lagi. Hati ini semakin memanas
mendengar semua perkataan yang sangatlah pedas itu kepadaku. Wanita tersebut
pergi meninggalkanku dengan mobilnya. Tak terasa air mataku menetes. Segera ku
seka air mataku, lalu berjalan meninggalkan taman itu. Hari sudah petang dan
aku harus segera sampai di rumah, ibu pasti mengkhawatirkanku.
_
_ _ _ _
“Ya
Allah, berikanlah hamba kekuatan untuk menjalani semua ini! Yakinkanlah aku
untuk melepaskan kebahagiaanku. Hanya Engkau yang mampu membuatku bertahan.”
Begitulah
doa yang aku panjatkan pada-Nya sambil tak hentinya aku menangis. Aku sudah
bulat untuk memutuskan hubunganku dengan David. Hanya kekuatanlah yang aku
butuhkan saat ini.
Selesai
berdoa, aku merebahkan tubuhku yang begitu lemah di atas kasurku. Aku begitu
rapuh saat ini. Aku harus segera melepaskan David, seseorang yang begitu aku
cintai.
Aku memeluk erat sebuah foto. Foto antara aku dan
David di sebuah photo box. Di dalam foto itu, aku dan David sedang berciuman.
Wajah kami begitu cerah, benar-benar sepasang kekasih yang berbahagia. Air
mataku mengalir deras.
David Ricco Satria, aku biasa memanggilnya Kavid,
singkatan dari “Kekasihku David”. Mulai besok aku takkan bisa lagi memanggilnya
Kavid. Dan aku juga mungkin tidak bisa lagi mendengar ia memanggilku , Lianiz
“Pricillia Manis”, panggilan sayangnya untukku.
David adalah seorang laki-laki yang paling tulus yang
pernah aku kenal di dunia ini, mungkin ia mewarisi sifat ayahnya yang dermawan.
Sayang, ayah David sudah meninggal akibat kecelakaan di saat David masih
berusia enam tahun. Dan kini David hanya tinggal berdua dengan ibu kandungnya
yang sangat berbeda dengan ayahnya, ibu David memandang semua hal hanya dari
segi harta dan tahta. Jadi tidak heran, beliau memandangku rendah seperti sore
tadi.
Aku bertemu ibu David untuk pertama kali saat ibuku
terlilit hutang kepada seorang rentenir. Awalnya aku menceritakan masalah itu
kepada David tanpa ada maksud untuk mengemis. Namun, David menawarkanku sebuah
bantuan.
“Ayo,
masuk, Lianiz! Mudah-mudahan mamaku gak lagi pergi. Tadi pagi sih, mama bilang
mau istirahat di rumah hari ini”, kata David padaku.
Aku
menapaki sebuah rumah yang begitu mewah, seperti yang aku lihat di dalam
sinetron. Aku tak habis pikir, rumah sebesar ini hanya ditempati oleh David,
mamanya, dan beberapa orang pembantunya.
David
membawaku ke sebuah ruang keluarga. Terlihat seorang wanita yang aku tebak
adalah mama David. Dia sedang sibuk membaca majalah fashion, televisi ia
biarkan menyala meski tidak ia tonton.
“Mah,
ada temanku nih”, kata David mengagetkan ibunya.
Wanita
tersebut menurunkan majalah, memperlihatkan wajah cantiknya meski di usianya
yang sudah tua. Dia memandangi tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki dan
itu berhasil membuat jantungku berdebar-debar. Aku segera menyalami mama David,
ia mempersilakanku duduk di sofa. David juga ikut duduk di samping mamanya.
“Siapa
namamu?”, kata wanita itu kepadaku dengan nada yang datar.
“Pricillia
tante.”
“Orangtua-mu
pemimpin di perusahaan apa?”, tanya ibu itu sambil menaikkan alisnya. Mendengar
pertanyaannya, aku semakin tegang dan membuatku tidak nyaman berada di sana.
“Emmm,
Mah. Pricillia ini hidupnya sederhana. Dia hebat loh, mah! Dia rajin membantu
ibunya berjualan kue setiap pulang sekolah. Tapi, nilai-nilai di sekolahnya
bagus mah. Dia bahkan juara kelas loh, Mah!”, terang David yang memahami
situasi yang kurang mengenakkan ini.
“Kenapa
bisa kamu berteman sama orang miskin sih, David?!”
“Mama!
Jangan bilang seperti itu, donk! Gak enak didenger sama Pricillia!!.”
Aku
hanya bisa menelan ludah dan menahan rasa sakit hati ini melihat sambutan mama david
yang kurang baik. Aku ragu apakah orang seperti ini bisa kumintai tolong. “Ya
Tuhan bantulah aku.” Tutur kata dalam hatiku.
“Lalu
mau apa dia kemari?”
“Begini
loh, mah! Dia mau meminjam uang. Keluarganya sedang mengalami kesulitan
gara-gara terbelit hutang sama rentenir, mah! Pinjamkan Pricillia uang donk
mah, kasihan.”
“Berapa
yang kamu minta, Pricillia?”, tanya mama David.
“Dua
setengah juta, Tante”, jawabku.
“Apa?!
Sebanyak itu? Itu bukan angka yang kecil untukmu. Kamu yakin bisa membayar
hutangmu kepada saya? Kamu hanyalah penjual kue dengan baskom yang menjijikan
itu!”
“Saya
tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa, Tante.” “Aku menahan emosiku
di saat mamanya David memaki-makiku.
“Mah,
David mohon, Mah! Pinjami Pricillia uang. Kalau dia tidak bisa membayarnya,
biar David yang ganti. Mama bisa potong dari uang jajanku.”
“Mana
bisa begitu, David? Siapa yang berhutang, dia yang harus membayar! Sifatmu itu!
Sama persis dengan ayahmu! Memberikan uang cuma-cuma pada orang yang tidak
jelas.”
“Mah,
please! David mohon, Mah! Mama kan baik”, kata David sambil memeluk tangan
mamanya dengan manja.
“Ah,
kamu ini, Vid! Kamu memang selalu begitu! Tahu saja kalau mama memang tidak
pernah bisa menolak permintaan kamu”, mama David bangkit dari sofa dan
melepaskan diri dari pelukan anaknya.
“Kali
ini kamu beruntung, nak! Tunggu sebentar, saya akan mengambilkan uangnya”, kata
mama David sambil menatapku dengan sinis.
“Yes!”,
Teriak David dengan girang, sementara aku masih datar saja. Aku tak tahu apakah
aku harus senang atau tidak.
Beberapa
menit kemudian, mama David kembali ke ruang keluarga dengan membawa sebuah
amplop berwarna coklat.
“Ini
isinya tepat dua setengah juta. Tak perlu kau hitung lagi!”, katanya sambil
menyerahkan amplop tersebut dengan alis dinaikkan kepadaku.
“Saya
sedang baik hati! Kamu bayar seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan tanpa
bunga. Dan Farel, kamu hanya boleh membantu paling banyak lima puluh persennya
saja.”
“Baik
Tante! Akan saya usahakan! Terima kasih banyak, Tante”, kataku dengan mantap.
Aku telah bersusah payah mengumpulkan uang dari uang
jajanku untuk membayar hutangku kepada mama David, tetapi ujung-ujungnya David
yang membayar sebagian besar hutangku. Dan ini telah melanggar ketentuan dari
mama David. Untung saja mama David tidak tahu mengenai hal ini.
_
_ _ _ _
Pagi pun tiba, entah jam berapa aku tertidur semalam.
Aku memang terlalu lelah untuk memikirkan masalah ini. Aku segera mempersiapkan
diri untuk pergi ke sekolah.
Sesampainya
di sekolah, aku langsung disambut oleh David. Itu memang kebiasaan kami, kami
harus saling menunggu sebelum masuk ke dalam lingkungan sekolah. Kalau aku
tidak melihat David di gerbang sekolah, maka aku yang harus berdiri di dekat
pos satpam untuk menunggu David. Begitu pula sebaliknya.
“Pagi,
Lianiz!”, kata David dengan senyum lebarnya yang ia persembahkan untukku pagi
ini.
“Pagi”,
kataku dengan nada datar.
Mau tak mau, aku harus memulai drama ini sekarang
juga. Aku tetap berjalan melewati David tanpa menghiraukannya. David seperti
terpaku sejenak, tetapi ia segera berlari menyusulku. Kini dia telah berjalan
di sampingku. Aku berjalan lebih cepat, ia berusaha menyeimbangiku.
“Lianiz,
semangat dalam menjalani hari ini ya?”, katanya.
“Iya
iya!”, rasanya aku tak sanggup menjalani ini semua. Tapi ini demi kebaikannya,
jadi aku harus melakukannya.
“Ada
apa sih kok kamu tiba-tiba berubah?”
“Gak
ada apa-apa.”
“Kok
kamu gak panggil aku Kavid?”
Aku
sudah sampai di depan kelas, aku ingin segera masuk ke dalam kelas dan berlari
dari hadapan David. Namun, David justru menarik tanganku untuk mencegahku masuk
ke dalam kelas.
“Kita
selesaikan masalah ini sebentar!”
Ia
menarik tanganku, ternyata ia membawaku ke kebun di belakang sekolah.
“Ada
apa? Katakan padaku, Lianiz!”, desak David kepadaku.
“Aku
mau putus.”
“Kenapa?”
David mulai menunjukkan wajah lesunya, aku jadi tidak
tega. Sementara itu, aku belum sempat memikirkan alasan yang tepat. Aku hanya
bisa terdiam, tidak menjawab pertanyaan David.
“Ada
apa?? Kenapa kamu mau putus?? Apa alasannya?? Ayo, coba jelaskan?? Apa kita
sebelumnya mempunya masalah?? Aku rasa tidak Lianiz!”, suaranya mulai serak
mengulang lagi pertanyaannya sambil menatap mataku dalam-dalam. Aku menangkap
sinar matanya, membuatku tak berdaya.
“Kita
udah gak cocok!”, jawabku sekenanya.
“Gak
cocok gimana? Kita berantem aja gak pernah!”
Aku
terdiam lagi beberapa saat, aku benar-benar bingung memikirkan alasan yang
tepat untuk memutuskan hubunganku dengan David.
“Coba
kamu pikirkan lagi!”
David melangkah menuju ruang kelasnya dengan langkah
yang lesu. Sementara aku masih terdiam, melihat semua sudut di kebun ini. Di
sini sangat banyak kenanganku bersama David. Di sinilah tempat aku dan David
pertama kali mengakrabkan diri. Di sini juga David menyatakan cintanya
kepadaku. Jika kami sedang sedih, tempat inilah yang jadi tempat tujuan kami
berdua. Kenangan itu sungguh membuatku sakit bila aku teringat bahwa ini adalah
saat-saat aku harus kehilangan David.
Aku merenungi lagi sejenak karena aku menjadi ragu
untuk memutuskan hubunganku dengan David. David begitu indah untuk aku relakan
begitu saja. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku bahagia sebelum bertemu
dengan David.
Di usiaku yang ke-6, ayahku pergi melepaskan tanggung
jawabnya menafkahi keluarga kami demi menikahi wanita lain. Kini entah ia
berada di mana, yang jelas ia meninggalkan kami dalam kesulitan ekonomi.
Sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, akulah yang berkewajiban untuk
membantu ibu membanting tulang menghidupi keluarga kami. Dua kakakku sudah
tidak tahu lagi pergi kemana. Mereka berkata “Kami tidak ingin lagi hidup
Miskin dan Sengsara seperti ini bersama Ibu dan kamu Pricillia!!” Teriknya
kepadaku dan Ibu sebelum mereka meninggalkan rumah ini. Aku berkeliling kota
menjual kue tradisional buatan ibu. Lelah, itulah kata yang tepat untuk
menggambarkan hidupku. Di saat teman-teman sebayaku asyik bermain dengan lepas
tanpa masalah, aku harus melawan panasnya sengatan matahari demi mendapatkan
uang yang tak seberapa. Ibuku tidak bisa bekerja terlalu keras. Sejak ayah
meninggalkanku, ibu mudah sakit. Fisiknya begitu lemah sampai-sampai hidupnya
tergantung pada obat-obatan. Aku seperti tidak pernah bahagia sampai aku
menemukan David di dalam hidupku. Aku sangat mencintainya dan aku mendapatkan
kasih sayang yang luar biasa darinya.
Seperti yang aku bilang, David adalah orang paling
tulus yang pernah aku kenal. Dia membiayai iuran sekolahku, dia membayar
obat-obatan yang harus dikonsumsi ibuku, dan masih banyak lagi. Dia tidak
mengharapkan imbalan apapun dariku. Ia selalu ada di saat aku sulit,
memberikanku bantuan secara fisik dan moril. Entah berapa jumlah material yang
sudah ia keluarkan untukku. Walaupun David tidak memberikan apapun untukku, aku
akan tetap bahagia. Semua itu karena aku mencintai David.
“Kalau
kau memang tulus kepada David buktikan! Tinggalkan David dan biarkanlah dia
bahagia dengan masa depannya. Hidup sukses dan memiliki anak-anak dari istrinya
kelak yang pantas bukannya kamu wanita yang tidak jelas asal usulnya. Kau ingin
David bahagia bukan?!! Atau memang benar kalau kau hanya menginginkan harta
anakku?!”, tiba-tiba kata-kata mamanya David sore kemarin kembali terngiang di
dalam pikiranku.
“Benar
juga, selama aku masih menjadi kekasih David, ia tidak akan berhenti
memberikanku segalanya. Mungkin aku tidak mempunyai niat untuk meminta-minta,
tetapi bagaimana pandangan Mama david? Aku tidak boleh egois, jangan sampai
martabat keluargaku diinjak-injak oleh ibu David hanya karena aku memacari
anaknya”, pikirku.
Lonceng
sekolah berbunyi membuyarkan lamunanku, itu pertanda bahwa jam pertama sudah
dimulai. Aku setengah berlari menuju ruang kelasku menyusuri koridor kelas.
Aku
melewati ruang kelas David dan sempat melihat ke dalam ruang kelasnya melalui
jendela. David tampak sangat lesu, aku tak pernah melihat ia seperti ini
sebelumnya.
“Ini
demi kebaikanmu, David!”, kataku dalam hati.
_
_ _ _ _
Jam istirahat pun tiba, biasanya aku dan David pergi
ke kantin sekolah berdua. Sekarang aku tidak bisa mengharapkannya lagi. Aku
tetap pergi ke kantin sekolah tanpa ada niat untuk membeli makanan. Sebab,
untuk berada di kelas itu sangat menjenukan.
Aku menjatuhkan tubuhku pada sebuah bangku di kantin
sekolah. Aku melihat sekelilingku dan aku tidak mendapati raga David di sana.
Beberapa waktu silam aku pernah dimarahi oleh David di bangku ini. Saat itu
kami memesan bakso dan penjual bakso itu menumpahkannya di atas meja yang kami
tempati. Aku memarahi penjual bakso tersebut, tetapi David justru balik
memarahiku.
“Kalau
tumpah ya beli aja lagi! Jangan marahin Mang Tarjo donk! Kasihan Mang Tarjo!”,
begitulah amarah David terhadapku. Kata-kata David yang akan selalu aku ingat
di dalam hatiku.
Aku
tak sedikitpun kesal karena David memarahiku, justru aku sangat terpukau. Aku
memang kekasihnya, tetapi itu tidak membuat David menutup mata hatinya. Ia
tetap obyektif dalam memandang masalah yang ada di hadapannya.
“Dorrr!!!”,
teriak seseorang tepat di telingaku sambil menepuk bahuku dengan kencang saat
aku sedang termenung, membuat jantungku terasa berhenti berdetak sesaat.
“Vicco!!!
Apa-apaan sih lo!!! Hampir melayang nyawa gua!!!”, bentakku pada Vicco, dia
adalah sahabatku.
“Lagian
melamun mulu! Ntar kalo kesambet setan gimana?”
“Jayus!!!”,
kataku sambil menjulurkan lidahku.
“Ada
apa sih kok ngelamun? Pake nangis lagi?”, tanyanya dengan serius.
Aku menatap wajah Vicco agak lama. Vicco mengibaskan
tangannya, mencoba menyadarkanku dari lamunan saat melihat wajahnya. Tiba-tiba terlintas
sebuah ide di dalam otakku untuk memutuskan hubunganku dengan Vicco. Kebetulan
sekali Vicco sudah tahu mengenai hubunganku dengan Vicco. Aku membisikkan ideku
ke telinga Vicco, ia memperhatikan dengan seksama.
“Gila
lo!!!”, teriak Vicco secara tiba-tiba membuat siswa-siswi di kantin itu
memperhatikan kami.
“Ssssstttt!!!
Mau ya??? Please gua mohon!!!”
“Tapi
kenapa bisa?”
“Soal
kenapa, nanti aja ya gua jelasin. Tapi mau kan?”
“Ya
udah deh, berhubung gua sahabat lo! Tapi gua gak bisa bayangin reaksi David
nanti dah!”
_
_ _ _ _
Lonceng sekolah berbunyi sebanyak empat kali. Jam
pelajaran terakhir sudah habis waktunya, siswa-siswi berlarian keluar dari
sekolah. Aku bersiap-siap menghadang David di depan kelasku.
Tak lama batang hidungnya sudah terlihat, mendekat ke
arahku masih dengan langkah yang lemah. Ketika ia sudah sampai di dekatku, aku
langsung menarik tangan David dan membawanya ke dalam kelasku yang sudah
kosong. Aku menutup pintu kelasku rapat-rapat kemudian mengajak David duduk di
bangku kelasku.
“Ada
apa, Lianiz? Apa sudah kau pikirkan lagi keputusanmu?”, tanya David begitu
lemah. Aku tertunduk, aku tidak mau lagi menatap wajahnya karena itu akan
membuatku luluh. Aku merasa ini pasti membuatnya sedih.
“Iya,
aku sudah memikirkannya.”
“Jadi
keputusanmu?”
“Sekarang
aku mau jujur menceritakan yang sebenarnya terjadi. Aku.....”
Ucapanku
terputus mendengar suara pintu kelas yang terbuka, ternyata dia adalah Vicco.
Aku benar-benar sangat berdebar untuk memulai klimaks dari sandiwara ini.
“Beb!
Ayo pulang!”, kata Vicco.
“Beb???”,
David mengerutkan dahinya.
“Iya!
Dia … Vicco adalah … pacarku sekarang!”, kataku pada David
Aku
rasanya ingin menangis saat mengucapkan kalimat tersebut, tetapi aku tahan
sebisa mungkin demi keberhasilan sandiwara Konyol ini. “Maafkan aku David.”
“Kamu
bercanda kan, Lianiz?”, tanya David mencari kepastian dariku.
David mendekati kami berdua dan aku terkejut saat ia
mencium bibirku dengan lembut. Ini tidak ada di dalam skenario, tetapi kupikir
ini adalah sebuah improvisasi yang bagus yang akan menyakinkan David bahwa
Vicco adalah pacarku sekarang. Mungkin ini jalan yang terbaik meskipun caranya
menyakitkan. Aku semakin mendekatkan tubuhku pada Vicco. Dia memelukku dengan
erat sambil menciumi bibirku dengan lahap, aku membalas ciumannya dengan penuh
gairah, gairah yang dipaksakan. Sementara David hanya terpaku melihat adegan
panas antara aku dan Vicco.
“Kamu
kok tega, Lianiz? Kamu tega sama aku??” Dimana janji setia yang kita buat hah?
Jawab?!!, kata David dengan suara yang begitu serak. Air matanya tak dapat
terbendung lagi.
“Maafkan
aku, David. Selamat tinggal! Semoga kamu bisa mendapatkan seseorang yang lebih
baik daripada aku. Aku tidak pantas untukku”.
Vicco menggandeng erat tanganku, membawaku menuju
keluar kelas. Aku tidak berani melihat wajah David. Aku tak mau David melihatku
menangis sekarang. Tubuhku begitu lemah, Vicco berusaha menopang tubuhku untuk
berpijak kuat di permukaan bumi ini.
_
_ _ _ _
Aku
tidak melihat sosok David menungguku di gerbang sekolah. Aku langsung berdiri
di dekat pos satpam, menunggu kedatangan David di sekolah pagi ini.
Beberapa menit kemudian, aku baru sadar bahwa aku
bukan milik David lagi. Sungguh aku belum terbiasa dengan keadaan ini. Aku
seperti orang bodoh atau bahkan mungkin seperti orang gila. Aku sangat menyesal
telah melakukan sandiwara yang konyol ini, tapi mau bagaimana lagi. Ini adalah
cara supaya David membenciku. Aku segera menjauhi gerbang sekolah dan berlari
menuju kelasku. Aku merasa orang-orang di sekelilingku seperti sedang
menertawaiku.
Sampai di dalam kelas, aku langsung duduk di bangkuku
yang terdapat pada barisan terdepan. Vicco sudah berada di sampingku, aku
memang datang agak siang dari biasanya pagi ini. Semua teman sekelasku begitu
sibuk bahu-membahu saling menyalin pekerjaan rumah mereka.
“Udah
kerjain PR belum?”, tanya Vicco kepadaku sambil tersenyum padaku.
“Udah
donk”, kataku dengan kurang semangat.
“Gua
ada yang belom ngerti nih nomor tujuh.”
“Yang
ini pembilangnya dibagi dulu terus di jadiin bilangan yang sama-sama dibagi dua
sama satu per x, penyebutnya juga dikali satu per x. Selanjutnya bisa kan?”,
terangku pada Vicco.
“Oh
gitu! Ngerti ngerti. Dicoba dulu ah.”
Tidak sengaja aku melihat David berdiri di dekat pintu
masuk kelasku. Entah sejak kapan ia berada di sana, yang jelas pasti David
melihat tubuhku begitu berdekatan dengan Vicco saat aku menjelaskan PR tadi. Ia
tersenyum saat melihatku melihatnya, senyuman yang begitu menyakitkan hatiku.
Namun aku bisa melihat jelas aura kesedihan terpancar begitu kuat dari dirinya.
David, mengapa engkau tersenyum padaku? Bencilah aku!
Maka itu akan membuatku lebih baik. Sebab itu lebih pantas aku dapatkan darimu
sekarang. Tolong bencilah aku. Hapuslah kenangan yang sudah kita buat bersama.
“pikir dalam hatiku.”
Ya
Tuhan, apakah aku memang tidak pantas untuk bahagia? Izinkanlah aku untuk
merasakan kebahagiaan lagi.
Bahagia,
apakah itu sebuah kata yang terlalu muluk untukku?
To Be Continued. . . . .